Selasa, 06 Juli 2010

Laporan Penelitian
Oleh : A.Mardiana P (084104023)
Armansyah (084104032)
Irfan (084104002)

1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

1. Sekolah Negeri

 SMA Neg. 2 Pare-Pare ( guru berlabel Pendidikan)
 SMP Neg.1 Pare-Pare (guru berlabel non pendidikan)
 SMP Neg. 1 Makassar (guru berlabel non pendidikan)

2. Sekolah Swasta

 SMA Bajiminasa ( Guru Berlabel Non-Pendidikan)
 SMA Athira (Guru Berlabel Pendidikan)
 SMA Tamalate (Guru Berlabel Pendidikan)
2. Alat dan Perlengkapan
Pulpen dan sebuah buku
3. Hasil yang dicapai
Dalam sekolah negeri banyak terdapat guru yang asli dari pendidikan karena sudah berada dalam urusan pemerintah, pemerintahlah yang menentukan atau menempatkan guru-guru disekolah negeri. Kualitas meraka sudah teruji dalam sertifikasi, oleh karena itu dalam kelas yang meraka tempati sudah pasti menguasai bahan ajar yang akan diajarkan. Seperti kita ketahui bahwa sekolah negeri perlengkapan dalam mengajar sudah lengkap. Contoh di SMA Neg. 2 Pare, pada mata pelajaran sosiologi metode yang diajarkan sangat menyenangkan siswa hal ini dibuktikan banyaknya jumlah siswa yang meraih nilai tinggi dikarenakan dalam penyampaian mata pelajaran sangat mudah dipahami oleh siswa. Lain halnya dengan sekolah swasta, guru yang asli dari pendidikan terkadang dalam melakukan pembelajaran kurang memahami karena belum teruji dalam sertifikasi dan juga kebanyakan masih menjadi honorer sehingga hanya sebagian malah hanya terhitung jari yang bisa memahami pelajaran yang diajarkan.
Dalam sekolah swasta kebanyakan adalah guru dari non-pendidikan karena meraka diambil dari yayasan untuk mengajar . meraka itu hanya mencari sebuah pengalaman sebelum terpilih ke sekolah negeri. Guru non-pendidikan tidak kalah dengan yang asli dari pendidikan hanya saja yang non-pendidikan harus mengikuti banyak hal untuk bisa menjadi guru seutuhnya. Disekolah swasta yang menjadi kekurangan yaitu fasilitas sehingga beberapa guru dalam penyampaiannya kurang dipahami jadi dalam penilaiannya sangat kurang dimengerti walaupun kurang dipahami akan tetapi rata-rata nilainya lumayan baik toh masih ada guru yang sangat menguasai materinya dengan baik. Contoh SMA Bajiminasa, dalam mata pelajaran bhs.inggris (non-pendidikan) penguasaan materi sangat baik tapi tidak didukung dengan fasilitas sehingga banyak materi yang terlewatkan akan tetapi ditutupi dengan baik pula. Setali tiga uang, guru yang asli dari pendidikan dalam pengajarannyapun sangat menguasai materi pelajaran yang ia bawakan tetapi sama dengan yang non-pendidikan, fasilitas yang menjadi kendala dalam sekolah swasta.

tugas kapita selekta KAMI!!

Sabtu, 03 Juli 2010

ARAH BARU PENGEMBANGAN PROFESI TEKNOLOGI PENDIDIKAN
29 06 2009

Kurikulum dan Teknologi Pendidikan (Kurtekdik) merupakan salah satu jurusan pendidikan di Indonesia, selama beberapa kali telah terjadi pergeseran orientasi di ranah akademik, tentu seiring dengan dinamika yang terjadi masyarakat pendidikan.

Belakangan ini para pelaku/akademisi jurusan Kurtekdik disibukkan dengan mencari orientasi kerja yang paling pas untuk lulusannya, seiring dengan itu maka harus juga ada penyesuaian-penyesuain kurikulum pendidikan Kurtekdik.

Saya ingin mengingatkan, kesalahan melakukan analisis lapangan kerja pasca kelulusan akan berdampak pada terlantarnya para lulusan. Selama ini, yang paling senter terdengar di jurusan Kurtekdik adalah pengembangan media pembelajaran, ranah ini yang selalu didengungkan dan dibanggakan. Kemudian, ada tarik ulur mengenai Guru TIK yang oleh sebagaian pihak diklaim sebagai ranah kerja lulusan Kurtekdik.

Disini saya tidak ingin menambah perdebatan, Cuma ingin menunjukan fakta tersembunyi di balik peluang lulusan Kurtekdik. Jamak sudah kita ketahui baik mahasiswa, dosen maupun alumni bahwa prosentasi kurikulum di Kurtekdik lebih besar mengarah ke pengembangan media, ini menurut saya yang harus dikritisi.

Saya memahami dan mengalami bagaimana perkuliahan saya dulu hampir sebagian besar didominasi mata kuliah pengembangan media semacam fotografi, pengembangan media grafis, media 3 dimensi, computer dan video. Setelah saya lulus, saya bekerja sebagai pengembang kurikulum di sebuah sekolah favorit dan alhamdulillah telah berhasil mengantarkannya sebagai Sekolah Standar Nasional dan Sekolah Bertaraf Internasional. Disini kemampuan kurikulum jelas sangat dibutuhkan, sebelumnya saya diamanahi sebagai wakil kepala bidang kurikulum di sebuah SMA/MA swasta, lagi-lagi kemampuan kurikulum yang dibutuhkan. Pada waktu itu saya melihat bahwa kasus saya adalah individual dan tetap beranggapan bahwa konsep yang pertama dan utama lulusan Kurtekdik adalah pengembang media/teknisi media.

Sekarang saya menjadi Analis Program di Pusdiklat Lembaga Pemerintah, Pusdiklat yang juga scr structural memiliki studio pengembangan media pembelajaran. Disini Lulusan Kurtekdik lebih banyak menangani pendesainan program dan pengembangan kurikulum diklat. Diskusi sederhana saya lakukan dengan rekan seprofesi, bahwa kompetensi utama sarjana Teknologi Pendidikan sebenarnya saat ini harus diarahkan ke pengembang program/kurikulum, sedangkan untuk pengembangan media, sarjana Teknologi Pendidikan cukup sebagai manager dan pendesain programnya. Kita tidak perlu langsung menangani pengembangan media, mengingat saat ini banyak sarjana atau diploma yang bergelut dibidang media baik itu video, computer, maupun foto.

Logikanya sederhana, secara kompetensi dan ketrampilan sarjana Teknologi Pendidikan tentu tidak semahir sarjana computer dalam bidang computer praktis, sedangkan untuk bidang video dan foto sudah ada diploma atau sarjana pertelevisian. Kita sebenarnya tidak harus terjun ke ranah praktis, cukup kita sebagai pendesain programnya dan menjadi manager mereka.

Lantas bagaimana dengan Pusat Sumber Belajar di Sekolah? Mengenai PSB, Sarjana Teknologi Pendidikan tetap bisa sebagai pengelolanya, Cuma agak sedikit bergeser dari paradigma tukang ke paradigma manager. Artinya apabila Sarjana Teknologi Pendidikan berkecimpung di PSB maka tidak tidak diutamakan kemampuan praktis media tapi juga tidak boleh diabaikan, yang mesti diutamakan adalah kemampuan pendesainan media pembelajaran yang ideal.

Apabila pendapat diatas diterima, maka konsekuensinya kurikulum Kurtekdik harus sedikit diotak-atik dengan pemberian prioritas SKS lebih besar pada Mata Kuliah terkait pendesainan program dan pengembangan kurikulum. Yakinkah kita bahwa dengan konsen ke pendesain program dan pengembang kurikulum akan banyak lapangan kerja tersedia untuk kita? Seperti saya kemukakan diatas, bahwa ranah kerja kita tetap bisa sebagai pengelola PSB, dan ditambah lagi di Diklat, serta pengembang kurikulum sekolah atau lembaga pendidikan lain.

Fakta menunjukan, beberapa sarjana Kurtekdik kurang begitu memahami fungsi sebagai pengembang kurikulum dan pendesain program kecuali hanya segelintir yang ditunjang kemauan mengembang keilmuan itu di luar perkuliahan.

Peluang menjadi pendesain program dan kurikulum pada lembaga diklat negeri dan swasta terbuka lebar, tapi tidak mengabaikan peluang menjadi pengembang media di PSB yang ada di Sekolah maupun luar sekolah. Jika kita mau mengembangkan media Video Pembelajaran, kita hanya sebagai sutradara, Penulis Scrip atau jamaknya sebagai pendesain programnya saja sedangkan prosen pengambilan gambar dan editing kita serahkan saja pada D3/S1 Pertelevisian atau TI.

kim yu kyung

Minggu, 27 Juni 2010

REFORMASI PENDIDIKAN NASIONAL


NAMA : HERMAN
NIM : 084104041

Dibawah ini dikemukakan beberapa batasan pendidikan yang berbeda berdasarkan fungsinya:
a. Pendidikan sebagai proses transformasi budaya.
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebgai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain.
b. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi.
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik.
c. Pendidikan sebgai proses penyiapan warga Negara.
Pendidikan sebagai penyiapan warga Negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga Negara yang baik.
d. Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja.
Pendidikan sebagi penyiapan warga Negara diartikan sebgai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja.
PENGERTIAN REFORMASI.

Reformasi berarti perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik atau agama di dalam suatu masyarakat atau Negara. Orang-orang yang melakukan atau memikirkan reformasi itu disebut reformis yang tak lain adalah orang yang menganjurkan adanya usaha perbaikan tersebut tanpa kekerasan.
Reformasi berarti perubahan dengan melihat keprluan masa depan, menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktek yang salah atau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan menyeluruh dari suatu system kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hokum, social dan tentu saja termasuk bidang pendidikan. Reformasi juga berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar. Oleh karena itu, reformasi berimplikasi pada merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional.

C. PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA.

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Untuk mewujudkan cita-cita ini, diperlukan perjuangan seluruh lapisan masyarakat.
Pendidikan merupakan pilar tegaknya bangsa: Melalui pendidikanlah bangsa akan tegak mampu menjaga martabat. Dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 disebutkan “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandidri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

D. REFORMASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN.

Reformasi pendidikan adalah upaya perbaikan pada bidang pendidikan. Reformasi pendidikan memiliki dua karakteristik dasar yaitu terprogram dan sistemik. Reformsi pendidikan yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu institusi pendidikan. Yang termasuk kedalam reformasi terprogram ini aadalah inovasi. Inovasi adalah memperkenalkan ide baru, metode baru atau sarana baru untuk meningkatkan beberapa aspek dalam proses pendidikan agar terjadi perubahan secara kontras dari sebelumnya dengan maksud-maksud tertentu yang ditetapkan.

Sedangkan reformasi sistemik berkaitan dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini sering kali terjadi di luar sekolah dan berada pada kekuatan social dan politik. Karakteristik reformasi sistemik ini sulit sekali diwujudkan karena menyangkut struktur kekuasaan yang ada.

Sementara itu kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen. Kebijjakan adalah keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak.
Dengan demikian reformasi kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktek-praktek pendidikan dimasa lallu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan dimasa mendatang menjadi lebih baik.

HOME SCHOOLING

NAMA : NURDIN
NIM : 084104027

Home schooling memang mengacu kepada kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan/kemauan individual (dengan orientasi cita-citanya bekerja atau menguasai bidang-bidang tertentu yang menjadi harapannya dalam bekerja. Fleksibilitas tersebut juga diukur dari metode belajar-mengajar yang tidak “terbelenggu” oleh dimensi ruang dan waktu secara formal serta menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik. Dengan kata lain memang cenderung lebih efektif jika para siswa belajar dalam tataran konsep pendidikan model ini. Apalagi jika kalangan dunia industri sudah menjalin kerja sama dan membangun hubungan dengan lembaga pendidikan home schooling misalnya mengenai pola standard alternatif bagi kompetensi para lulusan. Memang selama ini bagi sebagian kalangan praktisi pendidikan, mereka menjustifikasi bahwa kebutuhan kompetensi tersebut tetap menjadi skala prioritas yang harus terus dikembangkan dalam setiap jenjang kurikulum. Melalui kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan sekarang berubah lagi menjadi kurikulum berbasis pengetahuan terpadu ditambah kurikulum lokal yang terus berganti. Para praktisi pendidikan menerapkan desain konsep pendidikan dalam berbagai strata dengan berupaya mengelaborasi tingkat intelektualitas ide dan gagasan akademiknya.
Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi.

Pendidikan Wanita

NAMA : WAHYUDIN
NIM : 084104018

Hasil kajian Mayling Oey-Gardiner menunjukkan bahwa terdapat konsistensi yang lebih tinggi antara umur dan tingkat pendidikan bagi wanita dibanding dengan laki-laki. Yang secara implisit dapat diartikan bahwa wanita lebih berhasil di sekolah daripada laki-laki (dalam Perempuan dan Pemberdayaan, 1997). Keberhasilan wanita di sekolah dapat berarti terbukanya peluang yang lebih luas bagi wanita untuk memilih jenis pekerjaan sesuai keahlian yang dimilikinya.

Dikaitkan dengan kemampuan perempuan yang lebih terbatas, yang seringkali merupakan cerminan dari pendidikannya. Alasan lain yang sering pula dikemukakan adalah perempuan hanya cocok bagi pekerjaan yang feminin atau pekerjaan yang berkaitan dengan nalurinya dalam peran sebagai ibu rumah tangga atau mitra pembantu laki-laki, misalnya guru, perawat, pelayan restoran, juru masak, operator telepon, teller bank, dan sejenisnya (Barry, 1989 seperti dikutip oleh Chrysanti Hasibuan-Sedyono dalam Gardiner, 1994:214).

Secara konseptual peran ganda wanita mengandung beberapa kelemahan dan ambivalensi. Pertama, di dalamnya terkandung pengertian bahwa sifat dan jenis pekerjaan wanita adalah tertentu dan sesuai dengan kodrat wanitanya. Kedua, dalam kaitan dengan yang pertama, wanita tidak sepenuhnya bisa ikut dalam proses-proses produksi. Ketiga, di dalamnya terkandung pengakuan bahwa sistem pembagian kerja seksual seperti yang dikenal sekarang bersifat biologis semata. Keempat, merupakan suatu penerimaan tuntas terhadap berlangsungnya mode of production yang ada. Kelima, bila dikaitkan unsur keselarasan dan pengertian yang terkandung di dalamnya adalah bersifat etnosentris dan mengacu pada kelas sosial tertentu dan secara kultural bukan sesuatu yang universal dimiliki oleh setiap suku bangsa di Indonesia (Sjahrir, 1985: 14-15).

PENDIDIKAN GURU

NAMA : FEBRI HASRIADI EKA S
NIM : 084104037

Profesi dan perlindungan guru
Usaha untuk membuat profesi Guru menjadi professional sudah di lakukan oleh pemerintah salah satunya yaitu dengan adanya syarat bagi seorang guru tertentu untuk mengikuti akta IV dan pendidikan khusus lainnya agar bias menjadi guru negeri di lingkungan pendidikan nasional. Upya ini di lakukan untuk menerbitkan profesi guru agar bias mengaplikasikan kode etik guru dengan sebaik-baiknya dan juga bersikap professional dan tugas yang di embangnya.
Peran dan fungsi guru
Guru ataupun biasanya di sebut sebagai pengajar, pendidik dan pengasuh merupakan tenaga pengajar dalam institusi pendidikan seperti sekolah maupun kelas bimbingannya yang tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan melatih,menilai dan mengevaluasi peserta didik.guru sebagai pengajar ialah orang yang memiliki kemampuan intelektual sehingga mampu mengutarakan apa yang ia ketahui kepada peserta didik sehingga menjadikan kepahaman bagi peserta didik tengtang materi yang ia ajarkan kepada peserta didik.

Sedangkan syarat untuk menjadi seorang guru ada 3 yaitu:

1. Memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuaI dengan jenjang kewenangan mengajarkan
2. Kesehatan jasmani dan rohani
3. Memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab

HOME SCHOOLING DI INDONESIA



MUHAIMIN TP 08, 084 104 040

Home Schooling di Indonesia
Akhir-akhir ini kita sering saksikan mulai banyak bermunculan sekolah-sekolah dengan alternatif pendekatan dan metodologi pengajaran yang cenderung praktis dan katanya lebih efektif mengelaborasi esensi pendidikan dengan aplikasi skill peserta didik. Program pendidikan tersebut sering kita kenal dengan istilah home schooling. Home schooling memang mengacu kepada kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan/kemauan individual (dengan orientasi cita-citanya bekerja atau menguasai bidang-bidang tertentu yang menjadi harapannya dalam bekerja. Fleksibilitas tersebut juga diukur dari metode belajar-mengajar yang tidak “terbelenggu” oleh dimensi ruang dan waktu secara formal serta menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik. Dengan kata lain memang cenderung lebih efektif jika para siswa belajar dalam tataran konsep pendidikan model ini. Apalagi jika kalangan dunia industri sudah menjalin kerja sama dan membangun hubungan dengan lembaga pendidikan home schooling misalnya mengenai pola standard alternatif bagi kompetensi para lulusan.
Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di “hantui “oleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif “aman” buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal.
Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Memang selama ini bagi sebagian kalangan praktisi pendidikan, mereka menjustifikasi bahwa kebutuhan kompetensi tersebut tetap menjadi skala prioritas yang harus terus dikembangkan dalam setiap jenjang kurikulum. Melalui kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan sekarang berubah lagi menjadi kurikulum berbasis pengetahuan terpadu ditambah kurikulum lokal yang terus berganti.
Konsep dan desain penerapan kurikulum tersebut dilakukan dengan pendekatan pemikiran dan teori tentang kecerdasan berganda, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional dengan asumsi bahwa mereka menganggap bahwa setiap insan haruslah perlu diakui dan dihargai modalitas belajarnya. Para praktisi pendidikan menerapkan desain konsep pendidikan dalam berbagai strata dengan berupaya mengelaborasi tingkat intelektualitas ide dan gagasan akademiknya.
Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah. Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia.